Memory
Apakah kau sanggup
menghapus kenangan indah pemberian seseorang untuk mu? Jika kau sanggup
melakukannya, tidakkah kau akui bahwa dirimu jahat?
—
Aku terduduk diam di
atas kursi belajarku, tak tau apa yang harus kulakukan setelah makan malam
bersama keluarga tadi. Jadi ku putuskan untuk diam saja memandangi seluruh
kamarku yang berantakan. Berkali-kali menarik napas kesal sangking binggungnya
hendak melakukan apa. Tak bisa menemukan kesenangan di ruangan sendiri itu
rasanya. sungguh ironis.
Mataku terus saja
berputar-berputar mencari hal menarik yang mungkin saja bisa ku temukan,
seperti kemunculan tiba-tiba peterpan misalnya, eh. Mataku berhenti mengedarkan
pandangan tepat ketika kepalaku menghadap ke setumpukan buku yang bertengger
manis di rak meja.
Mendapati sebuah
figura yang berisikan foto di masa kecilku. Aku langsung meringgis geli ketika
mengingat bagaiman diriku ketika kecil, polos dan hanya mengerti satu hal yakni
bermain. Satu persatu ku telusuri wajah teman-teman ku saat masih menginjak
bangku TK.
Seperti contoh,
seorang anak lelaki yang kini mengambil alih semua perhatianku. Mataku fokus
menatapnya, menatap seorang anak laki-laki yang saat itu duduk di sebrang
bangkuku. Anak laki-laki yang selalu ku ingat semua tentangnya.
Kulitnya yang putih,
hidungnya yang tak bisa kau katakan pesek! Sama sekali tidak bisa karena
hidungnya mancung. Wajahnya polos, namun percayalah di dalam kepolosan itu, dia
menyembunyikan banyak pengetahuan. Sampai-sampai aku dibuat kesal olehnya
karena jarang bisa mengalahkannya dalam soal pelajaran. Tingginya dulu tidak
bisa di katakan lebih tinggi dari ku, entah untuk sekarang.
Aku tersenyum ketika
mengigat satu hal lagi tentangnya, bukan. Tapi tentangku dan dirinya.
Kami tak pernah bisa
dikatakan dekat, karena setiap kami bersama ataupun bertemu tidak ada kata
damai. Selalu mengejek satu sama lain, bahkan sampai memukul satu sama lain.
Menjengkelkan memang, namun setiap kami berkelahi di akhir perkelahian tersebut
kami selalu menututup dengan tawa.
Ku rasakan pipiku
mulai memanas, mengigat satu persatu kenangan saat kecil sampai kami tumbuh
dewasa bersama. Kenangan-kenangan tersebut masih begitu lekat, dan terus saja
berputar di dalam benakku bagaikan roll sebuah film.
Sampai akhirnya roll
film tersebut sampai pada sebuah kenangan dimana lelaki mungil ini memberiku
sebuah kenangan indah, yang tidak bisa untuk di hapuskan dalam file memori
otakku.
Well, bagaimana bisa
kau akan sanggup menghapus kenangan pemberian seseorang yang dalam pikiranmu
merupakan musuhmu, tetapi nyatanya ia memperhatikanmu? Dan bahkan menjadi
seseorang pertama yang memberimu sebuah kertas lusuh berisikan tulisan aneh
yang hampir tak bisa kau baca, atau kau bisa menyebutnya sebuah surat, mungkin.
Senyumku terus
mengembang, mengingat apa yang tertulis dalam surat tersebut dan saat bayangan
wajahnya yang datar muncul dalam imajinasi nyataku. Aku tak pernah tau bagaimana
awal dari cerita ini di mulai, dan tak pernah tau pula bagaimana cerita ini
akan berakhir.
Tapi yang aku tau, dia akan selalu menjadi yang teratas dalam memory
ingatanku.